SENJA
TAK KUNJUNG ABADI
Karya :
Dilla Nilasari
Angin
membelaiku lembut, suara deburan ombak yang menghantam bebatuan terus
bergemuruh, langit dihiasi dengan satelit bumi dan ratusan sang sudut lima yang
gemerlapan di malam yang sunyi. Aku berdiri kokoh di pinggir pantai. Ku dengar
suara langkah mendekatiku, aku yakin itu pasti adalah seorang laki-laki tampan
yang tidak asing olehku. Yupz betul sekali, dia adalah Ade, pemilikku.
Len, begitu mereka biasa
memanggilku. Nama yang aneh bukan ? padahal Ade memberikanku nama yang luar
biasa, Eline Tang. Ya, memang nama yang beda era. Aku hanyalah sebuah ontel tua
yang dimodifikasi dengan cinta dari Ade. Aku telah setia menemani Ade sejak ia
masih dalam gendongan bundanya hingga ia dewasa, itulah alasan ia begitu mencintaiku.
Ayah Ade meninggal saat ia masih
Sekolah Dasar. Ayah Ade meninggal saat perjalanan ke pasar untuk membeli sepeda
untuk Ade. Dan itu pula alasan Ade sangat mencintaiku. dia menyesal andai saja
saat itu ia bersyukur memiliki aku, ia tidak akan kehilangan ayahnya. Selain
itu aku adalah sepeda kesayangan ayahnya.
Ade sangat menyayangiku. Dia
memandikanku empat kali dalam seminggu, bahkan disaat dirinya sendiri belum
mandi ia sudah mempercantik aku. Ia mengecatku dengan warna merah merona yang
sangat indah. Dia selalu membanggakanku di depan teman-temannya. Aku pasti jadi
ontel yang paling bahagia di dunia ini. Hanya saja aku sangat benci saat
menunggu Ade membeli sampo untukku. Ia memarkirku di parkiran kumuh sebelah
utara pasar. Disana aku selalu dicolek dan diraba oleh para preman berhati Hello
Kitty yang takut istri dan suka nongkrong di warung kopi itu.
Ade sangat mencintai senja. Dan aku
harus mencintainya juga. Kita selalu menikmati pemandangan batas senja di bibir
pantai. Dan malam minggu itu, seperti biasa Ade membeli jagung bakar dan
berjalan di sepanjang bibir pantai yang elok dan menyandarkanku pada sebuah
nyiur. Dibarengi bayang-bayang senja, tampak siluet seseorang dengan tubuh
ideal dan hidung mancung yang ooh tampannya.
Hampir setiap hari kami melakukan
hal yang sama. Berjalan bersama dan berdendang bersama. Entah apa yang membuat
Ade tidak pernah malu berjalan bersamaku. Aku terlalu pusing membanggakan
diriku sendiri.
Hingga suatu saat aku hendak
menikmati senja di pantai dengan Ade. Sesampai disana, seperti biasa Ade
membeli jagung bakar. Namun ketika kami mendekat ke arah pantai, ada seorang
wanita disana menghadap ke pantai, memakai mini dress putih, rambutnya sebahu
gemulai tertiup angin. Seksi.
Sepertinya Ade tertarik padanya. Benar
dugaanku, dia menaruhku di dekat pohon palm dan menghampiri wanita itu. Ku
lihat mereka berjabat tangan. Ku dengar namanya adalah Dea. Nampaknya aku
pernah bertemu wanita itu. Yup, dia adalah teman Ade pada masa Sekolah Dasar.
Semuanya terasa wajar dan biasa saja
Mereka berjalan semakin jauh hingga
aku tak tau entah apa yang mereka bicarakan. Yang ku dengar hanyalah pertanyaan
yang dilontarkan Ade kepada Dea, “Ayo aku antar pulang”. Yang kulihat hanyalah
sebuah anggukan dan senyuman manis dari Dea. Dari obrolan yang kudengar selama
perjalanan, Dea adalah wanita yang kalem. Aku benci untuk berkata bahwa Dea
sangat cocok untuk Ade. Dan akhirnya Dea turun di depan rumah sederhana
berwarna biru. Ia tampak sangat bahagia.
Setelah pertemuan itu, Ade sering bertemu
dengan wanita penikmat senja itu dan aku dipaksa mengantarkannya pulang.
Firasat buruk mulai muncul dalam benakku. Sejak Ade melarat hingga nyaris
menjadi konglomerat dia tetap setia duduk di sadelku dan mengayuh pedalku.
Sespesial itukah aku ?
Tepatnya pada hari Minggu, kami
bertemu kembali dengan Dea. Di batas senja di bibir pantai. Mereka tampak
romantis dan lebih serius dari sebelumnya. Ada luka yang ternganga. Ada sakit
yang menusuk. Ada kecemburuan yang membakar.
Perjalanan pulang kali ini luar
biasa. “Capek ah pake ontel terus, kenapa gak pake motor aja sih ?”, kata Dea.
Aku mendengar kata-kata itu dengan telingaku sendiri. Aku benci Dea. Aku
sengaja membuat masalah. Kubelokkan sedikit stang ku dan sengaja kulindas paku
di jalanan yang membuat ban ku kempes. Terpaksa Ade dan Dea turun untuk mencari
tambal ban. Kubuat tubuhku setidak nyaman mungkin untuk Dea. Dea makin
menggerutu. Ingin ku tampar dia, tapi apalah dayaku yang hanya sebuah ontel tua
yang cintanya akan tergantikan.
Kali ini bukan senja yang kami
datangi, melainkan rumah Dea. Ya Dea memang selalu tampak cantik, dengan rambut
terurai dan dress yang anggun setengah mati. Pandangan Dea tampak tak acuh
kepadaku. Nampaknya ia ingin menyingkirkanku. Tidak mungkin lah, Ade pasti
lebih memilihku daripada Dea.
Pagi itu Ade memandikanku dengan
sampo wangi aroma stoberi. Aku sangat menyukainya dan Ade tau itu. Dia
mengelusku lembut. Ku tatap matanya lewat lampuku. Ade tampak sedih. Apa yang
terjadi ?
Setelah aku wangi dia menunggangiku
dan berjalan seperti biasa. Kami berjalan ke sebuah showroom motor. Rupanya Ade
telah prihatin karena keinginan Dea. Kali ini arah yang aku tak tau akan
kemana. Ade menghampiri seorang laki-laki tua bertopi hitam tinggi yang di
sekitarnya banyak sepeda bekas yang pastinya tidak lebih cantik dari aku. Ade
mengobrol dengan Pak tua itu, aku curiga. Ah tidak mungkin menurutku.
Ade menghampiriku dengan tersenyum
di depan mataku. Hal yang kulihat setiap hari namun tak pernah membosankan. Ade
berjalan ke arah selatan dan meninggalkanku sendiri. Ade tak menoleh ke
belakang. Aku ingin berteriak, “Ade, aku disini. Lihat aku Ade !”
Berhari-hari sudah aku disini
menunggu Ade. Ia tak kunjung menjemputku. Aku sedih disini. Aku ingin pulang.
Hingga hari itu aku melihat Ade membonceng Dea menggunakan motor bagus. Dan
baru aku sadari hal terburuk yang tak pernah aku bayangkan telah terjadi.
Benar. Ade menjualku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar