Minggu, 17 April 2016

SENJA TAK KUNJUNG ABADI



SENJA TAK KUNJUNG ABADI
Karya : Dilla Nilasari
Angin membelaiku lembut, suara deburan ombak yang menghantam bebatuan terus bergemuruh, langit dihiasi dengan satelit bumi dan ratusan sang sudut lima yang gemerlapan di malam yang sunyi. Aku berdiri kokoh di pinggir pantai. Ku dengar suara langkah mendekatiku, aku yakin itu pasti adalah seorang laki-laki tampan yang tidak asing olehku. Yupz betul sekali, dia adalah Ade, pemilikku.
            Len, begitu mereka biasa memanggilku. Nama yang aneh bukan ? padahal Ade memberikanku nama yang luar biasa, Eline Tang. Ya, memang nama yang beda era. Aku hanyalah sebuah ontel tua yang dimodifikasi dengan cinta dari Ade. Aku telah setia menemani Ade sejak ia masih dalam gendongan bundanya hingga ia dewasa, itulah alasan ia begitu mencintaiku.
            Ayah Ade meninggal saat ia masih Sekolah Dasar. Ayah Ade meninggal saat perjalanan ke pasar untuk membeli sepeda untuk Ade. Dan itu pula alasan Ade sangat mencintaiku. dia menyesal andai saja saat itu ia bersyukur memiliki aku, ia tidak akan kehilangan ayahnya. Selain itu aku adalah sepeda kesayangan ayahnya.
            Ade sangat menyayangiku. Dia memandikanku empat kali dalam seminggu, bahkan disaat dirinya sendiri belum mandi ia sudah mempercantik aku. Ia mengecatku dengan warna merah merona yang sangat indah. Dia selalu membanggakanku di depan teman-temannya. Aku pasti jadi ontel yang paling bahagia di dunia ini. Hanya saja aku sangat benci saat menunggu Ade membeli sampo untukku. Ia memarkirku di parkiran kumuh sebelah utara pasar. Disana aku selalu dicolek dan diraba oleh para preman berhati Hello Kitty yang takut istri dan suka nongkrong di warung kopi itu.
            Ade sangat mencintai senja. Dan aku harus mencintainya juga. Kita selalu menikmati pemandangan batas senja di bibir pantai. Dan malam minggu itu, seperti biasa Ade membeli jagung bakar dan berjalan di sepanjang bibir pantai yang elok dan menyandarkanku pada sebuah nyiur. Dibarengi bayang-bayang senja, tampak siluet seseorang dengan tubuh ideal dan hidung mancung yang ooh tampannya.
            Hampir setiap hari kami melakukan hal yang sama. Berjalan bersama dan berdendang bersama. Entah apa yang membuat Ade tidak pernah malu berjalan bersamaku. Aku terlalu pusing membanggakan diriku sendiri.
            Hingga suatu saat aku hendak menikmati senja di pantai dengan Ade. Sesampai disana, seperti biasa Ade membeli jagung bakar. Namun ketika kami mendekat ke arah pantai, ada seorang wanita disana menghadap ke pantai, memakai mini dress putih, rambutnya sebahu gemulai tertiup angin. Seksi.
            Sepertinya Ade tertarik padanya. Benar dugaanku, dia menaruhku di dekat pohon palm dan menghampiri wanita itu. Ku lihat mereka berjabat tangan. Ku dengar namanya adalah Dea. Nampaknya aku pernah bertemu wanita itu. Yup, dia adalah teman Ade pada masa Sekolah Dasar. Semuanya terasa wajar dan biasa saja
            Mereka berjalan semakin jauh hingga aku tak tau entah apa yang mereka bicarakan. Yang ku dengar hanyalah pertanyaan yang dilontarkan Ade kepada Dea, “Ayo aku antar pulang”. Yang kulihat hanyalah sebuah anggukan dan senyuman manis dari Dea. Dari obrolan yang kudengar selama perjalanan, Dea adalah wanita yang kalem. Aku benci untuk berkata bahwa Dea sangat cocok untuk Ade. Dan akhirnya Dea turun di depan rumah sederhana berwarna biru. Ia tampak sangat bahagia.
            Setelah pertemuan itu, Ade sering bertemu dengan wanita penikmat senja itu dan aku dipaksa mengantarkannya pulang. Firasat buruk mulai muncul dalam benakku. Sejak Ade melarat hingga nyaris menjadi konglomerat dia tetap setia duduk di sadelku dan mengayuh pedalku. Sespesial itukah aku ?
            Tepatnya pada hari Minggu, kami bertemu kembali dengan Dea. Di batas senja di bibir pantai. Mereka tampak romantis dan lebih serius dari sebelumnya. Ada luka yang ternganga. Ada sakit yang menusuk. Ada kecemburuan yang membakar.
            Perjalanan pulang kali ini luar biasa. “Capek ah pake ontel terus, kenapa gak pake motor aja sih ?”, kata Dea. Aku mendengar kata-kata itu dengan telingaku sendiri. Aku benci Dea. Aku sengaja membuat masalah. Kubelokkan sedikit stang ku dan sengaja kulindas paku di jalanan yang membuat ban ku kempes. Terpaksa Ade dan Dea turun untuk mencari tambal ban. Kubuat tubuhku setidak nyaman mungkin untuk Dea. Dea makin menggerutu. Ingin ku tampar dia, tapi apalah dayaku yang hanya sebuah ontel tua yang cintanya akan tergantikan.
            Kali ini bukan senja yang kami datangi, melainkan rumah Dea. Ya Dea memang selalu tampak cantik, dengan rambut terurai dan dress yang anggun setengah mati. Pandangan Dea tampak tak acuh kepadaku. Nampaknya ia ingin menyingkirkanku. Tidak mungkin lah, Ade pasti lebih memilihku daripada Dea.
            Pagi itu Ade memandikanku dengan sampo wangi aroma stoberi. Aku sangat menyukainya dan Ade tau itu. Dia mengelusku lembut. Ku tatap matanya lewat lampuku. Ade tampak sedih. Apa yang terjadi ?
            Setelah aku wangi dia menunggangiku dan berjalan seperti biasa. Kami berjalan ke sebuah showroom motor. Rupanya Ade telah prihatin karena keinginan Dea. Kali ini arah yang aku tak tau akan kemana. Ade menghampiri seorang laki-laki tua bertopi hitam tinggi yang di sekitarnya banyak sepeda bekas yang pastinya tidak lebih cantik dari aku. Ade mengobrol dengan Pak tua itu, aku curiga. Ah tidak mungkin menurutku.
            Ade menghampiriku dengan tersenyum di depan mataku. Hal yang kulihat setiap hari namun tak pernah membosankan. Ade berjalan ke arah selatan dan meninggalkanku sendiri. Ade tak menoleh ke belakang. Aku ingin berteriak, “Ade, aku disini. Lihat aku Ade !”
            Berhari-hari sudah aku disini menunggu Ade. Ia tak kunjung menjemputku. Aku sedih disini. Aku ingin pulang. Hingga hari itu aku melihat Ade membonceng Dea menggunakan motor bagus. Dan baru aku sadari hal terburuk yang tak pernah aku bayangkan telah terjadi. Benar. Ade menjualku.


Tidak ada komentar: